Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara
yang menganut sistem demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
adalah sebuah jargon yang biasa didengar perihal demokrasi. Jika berbicara
lebih jauh mengenai demokrasi, sejenak terlintas dalam benak. Apakah Indonesia
sudah menerapkan demokrasi dengan benar? Bagaimana dengan pilpres yang ada,
apakah sudah memenuhi standar demokrasi (demokratis)? Perlu kita kaji lebih
mendalam mengenai keterkaitan ini.
Memang penuh pertanyaan dan kajian yang perlu untuk dianalisis. Namun,
dalam pembahasan kali ini. Mari kita sorot lebih mendalam mengenai pilpres yang
mendatang. Dimulai dari teknik dan strategi yang mereka (read-capres) gunakan dalam
hajatan besar Pemilihan Presiden. Masing-masing kandidat mempunyai cara
tersendiri dalam berpolitik. Tak ketinggalan para pendukung dan relawan pun
juga tak henti-hentinya melakukan kampanye hitam. Saling menjatuhkan, saling
menjelekkan, saling membuka aib. Ini cara yang licik jika boleh disebut.
Teknik yang baik dalam berkampanye, kandidat bisa melakukan sosialisasi
atau sejenisnya yang bisa membawa efek yaitu semakin dikenalnya dikalangan
masyarakat. Seperti halnya yang dilakukan Jokowi yang diusung dari PDIP, PKB,
Nasdem, Hanura, dan Golkar ini dengan strateginya yang sudah terkenal, yakni blusukan.
Begitu pula halnya dengan Prabowo yang lebih mengedepankan kampanye turun
langsung ke rakyat untuk pemenangan pilpres. Prabowo juga menggunakan strategi perang.
Strategi perang yang dimaksud adalah ungkapan penyampaian visi misi yang
dilakukan melalui jalur udara dan darat layaknya serangan yang diluncurkan
tentara dalam menghadapi perang. Jalur darat yaitu dengan berkampanye di
daerah-daerah di seluruh Indonesia yang telah menjadi target, sedangkan jalur
udara yaitu melalui media. Ini adalah strategi yang bagus yang terorganisir.
Prabowo sendiri dari Gerindra yang telah memperoleh suara 11,75% mendapat
dukungan dari beberapa partai yang mayoritas partai islam. Diantaranya PKS,
PPP, PAN, PBB dan hanya Golkar saja yang bukan partai islam. Golkar terpecah
menjadi dua kubu. Satu memihak Jokowi, dan satu kubu memihak Prabowo. Sedangkan
Demokrat pada pemilihan presiden kali ini hanya menjadi penonton saja. Koalisi
pendukung Prabowo dan Hatta disebut-sebut koalisi tenda besar. Namun demikian,
menurut Hatta, hal itu kurang tepat jika disebut koalisi. Lebih tepat disebut
partai pengusung dan pendukung.
Dalam suasana yang genting seperti ini seharusnya media yang semakin
merambah luas dalam publik, selayaknya mempublikasikan prosedure dan sosialisasi
terkait pemilihan presiden. Namun pada kenyataannya, bukan demikian. Yang
menjadi topik utama dalam stasiun televisi adalah hiburan semata.