Mutmainah NQ

Kehidupan ini diisi oleh orang hidup. Jika anda merasa masih hidup bertindaklah selayaknya orang hidup.

Senin, 26 Mei 2014

Mengawal Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang Demokratis

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat adalah sebuah jargon yang biasa didengar perihal demokrasi. Jika berbicara lebih jauh mengenai demokrasi, sejenak terlintas dalam benak. Apakah Indonesia sudah menerapkan demokrasi dengan benar? Bagaimana dengan pilpres yang ada, apakah sudah memenuhi standar demokrasi (demokratis)? Perlu kita kaji lebih mendalam mengenai keterkaitan ini.
Memang penuh pertanyaan dan kajian yang perlu untuk dianalisis. Namun, dalam pembahasan kali ini. Mari kita sorot lebih mendalam mengenai pilpres yang mendatang. Dimulai dari teknik dan strategi yang mereka (read-capres) gunakan dalam hajatan besar Pemilihan Presiden. Masing-masing kandidat mempunyai cara tersendiri dalam berpolitik. Tak ketinggalan para pendukung dan relawan pun juga tak henti-hentinya melakukan kampanye hitam. Saling menjatuhkan, saling menjelekkan, saling membuka aib. Ini cara yang licik jika boleh disebut.
Teknik yang baik dalam berkampanye, kandidat bisa melakukan sosialisasi atau sejenisnya yang bisa membawa efek yaitu semakin dikenalnya dikalangan masyarakat. Seperti halnya yang dilakukan Jokowi yang diusung dari PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan Golkar ini dengan strateginya yang sudah terkenal, yakni blusukan. Begitu pula halnya dengan Prabowo yang lebih mengedepankan kampanye turun langsung ke rakyat untuk pemenangan pilpres. Prabowo juga menggunakan strategi perang. Strategi perang yang dimaksud adalah ungkapan penyampaian visi misi yang dilakukan melalui jalur udara dan darat layaknya serangan yang diluncurkan tentara dalam menghadapi perang. Jalur darat yaitu dengan berkampanye di daerah-daerah di seluruh Indonesia yang telah menjadi target, sedangkan jalur udara yaitu melalui media. Ini adalah strategi yang bagus yang terorganisir.
Prabowo sendiri dari Gerindra yang telah memperoleh suara 11,75% mendapat dukungan dari beberapa partai yang mayoritas partai islam. Diantaranya PKS, PPP, PAN, PBB dan hanya Golkar saja yang bukan partai islam. Golkar terpecah menjadi dua kubu. Satu memihak Jokowi, dan satu kubu memihak Prabowo. Sedangkan Demokrat pada pemilihan presiden kali ini hanya menjadi penonton saja. Koalisi pendukung Prabowo dan Hatta disebut-sebut koalisi tenda besar. Namun demikian, menurut Hatta, hal itu kurang tepat jika disebut koalisi. Lebih tepat disebut partai pengusung dan pendukung.

Dalam suasana yang genting seperti ini seharusnya media yang semakin merambah luas dalam publik, selayaknya mempublikasikan prosedure dan sosialisasi terkait pemilihan presiden. Namun pada kenyataannya, bukan demikian. Yang menjadi topik utama dalam stasiun televisi adalah hiburan semata.

4 komentar: